Jumat, 06 April 2012

SENGSARA DAN WAFAT YESUS



Misteri Paskah – sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus – merupakan INTI Kabar Gembira yang diwartakan umat Kristiani kepada dunia. Dengan mengurbankan diri “sekali untuk selama-lamanya” di Kalvari (Ibr 9:26), Kristus telah mengalahkan dosa dan kematian dan mendamaikan dunia dengan Allah (lihat KGK 571).

Dalam Pekan Suci, setiap tahun Gereja merayakan misteri Paskah ini, yaitu misteri “pasah” dari Yesus atau Tuhan lewat, dari Ia hidup sampai wafat dan kemudian kembali hidup lagi. Pekan ini dimulai dari Minggu Palma (atau Minggu Sengsara Tuhan), yang mengenangkan peristiwa Yesus memasuki Yerusalem dengan jaya di tengah lambaian ranting-ranting palma dan terialkan ”Hosana Putera Daud!” menggenapi berbagai nubuat (lihat Katekismus Gereja Katolik disingkat KGK, no 559). Namun dalam waktu kurang dari satu minggu, yaitu pada hari Jumat Agung, teriakan-terakan pujian itu berbalik menjadi teriakan yang menuntut kematian Yesus: “Salibkan Dia!” (Yoh 19:6).

Mengapa terjadi perubahan yang sedemikian tragisn? Beberapa pemimpin Yahudi tertentu pada masa itu menghasut rakyat melawan Yesus, dan menuduh Dia melakukan hujat dan nubuat palsu – itu adalah kejahatan-kejahatan keagamaan yang dapat dihukum mati menurut hukum Yahudi (KGK 574).
Ada tiga hal sehubungan dengan Yesus dan ajaranNya yang membuat mereka berang:

● Tafsiran Yesus atas hukum dan tradisi lisan Yahudi, termasuk pelanggarannya yang dilihat umum dalam melaksanakan seluruh hukum (misalnya dengan menyembuhkan orang pada hari Sabat);

● Yesus jelas menentang tempat dan peran sentral Bait Allah Yerusalem sebagai tempat suci satu-satunya di mana Allah harus dihormati;

● Pernyataan Yesus bahwa Ia mengenal Allah sebagai Bapa, dan dengan cara yang unik berbagi hidup dan kemuliaan Allah (KGK 576).

Sehubungan dengan itu semua, ketika Yesus menyerukan pertobatan dan iman kepada-Nya, Sanhedrin (yaitu mahkamah agama Yahudi yang tertinggi) justru mendakwa Yesus sebagai penghujat. Kitab Suci menekankan bahwa mereka bertindak demikian karena “tidak paham”, karena “tegar hati” dan karena “tidak percaya” sekaligus (KGK 591; lihat Luk 23:34; Kis 3:17-18; Mark 3:5; Rm 11:25 dan Rm 11:20).

Pada saat wafat-Nya, Yesus berseru dari atas salib, “Ya, Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34). Ampunan ini meliputi bukan saja para pemimpin Yahudi yang menuduh-Nya, tetapi juga para pejabat dan prajurit Romawi yang menjatuhkan dan melaksanakan hukuman mati kepada-Nya, dan kepada semua orang yang menolak dan menganiaya Gereja-Nya karena buta dan tidak mengerti. Sebab Ia datang bukan untuk menghukum dunia, melainkan untuk menyelamatkan dunia (lihat Yoh 3:17) .


Sengsara dan wafat Yesus tetap merupakan gambaran yang mengerikan dari dampak dosa manusia. Namun Gereja juga percaya bahwa tragedi yang tampak ini penting bagi keselamatan dunia. Kis 2:3 menyatakan bahwa, Yesus “yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya.” Yesus sendiri sudah menyatakan lebih dahulu sengsara-Nya sebelum semuanya terjadi, juga menjelaskan hal itu setelah Ia bangkit dari mati. “Bukankah Mesias harus menderita semuanya ini untuk masuk ke dalam kemuliaanNya?” (Luk 24:26).

Mengapa semua itu perlu?
Pertama, karena sudah merupakan bagian dari Rencana Allah. Santo Paulus menyatakan bahwa “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan Kitab Suci” (1Kor 15:3), sehingga Allah “membuat Dia yang tidak mengenal dosa menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor 5:21).

Kedua, pengurbanan Kristus merupakan pernyataan kasih Allah yang terbesar. Kristus yang adalah Allah menunjukkan kasih-Nya kepada manusia dengan secara bebas menerima konsekuensi yang terburuk dari dosa manusia, yaitu maut, untuk membebaskan kita dari dosa dan kematian. Keagungan kasih Allah itu dinyatakan dengan fakta bahwa Yesus mati bagi para pendosa dan mereka yang menolak Dia, bukan hanya bagi “sahabat-sahabat-Nya” – yaitu mereka yang mengasihi Dia dan taat kepada-Nya.

Kendati ketakutan dan derita manusiawi yang nyata dialami Yesus ketika menjelang saat kematian-Nya (yang dengan jelas sekali dibuktikan dalam sekarat-Nya di Taman Getsemane, [lihat Mat 26;42; Luk 22:30]), dengan bebas Ia memilih untuk menerima sengsara dan kematian-Nya, “Ia menerima dengan kehendak manusiawi-Nya agar kehendak Bapa terlaksana” (KGK 612).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar